PENGADILAN di Singapura mulai menjatuhkan vonis atas skandal sensasional yang melibatkan 10 warga negara China dalam kasus tindak pidana pencucian uang sebesar US$2,2 miliar (sekitar Rp33 triliun) yang diperoleh dari aktivitas kriminal di luar negeri.
SKANDAL ini menyeret banyak pihak mulai dari bank, agen properti, pedagang logam mulia, dan sebuah klub golf ternama. Penggerebekan besar-besaran pun terjadi di beberapa lingkungan paling tajir. Polisi menyita uang tunai dan aset senilai miliaran dolar.
Detail kasus yang mencolok ini menarik perhatian warga Singapura—di antara aset yang disita terdapat 152 properti, 62 kendaraan, rak penuh tas dan jam tangan mewah, ratusan perhiasan, dan ribuan botol minuman beralkohol.
Awal bulan ini, Su Wenqiang dan Su Haijin menjadi yang pertama dipenjara dalam kasus tersebut. Polisi menyebut Su Haijin melompat dari balkon lantai dua sebuah rumah untuk menghindari penangkapan.
Kedua pria itu akan menjalani hukuman penjara lebih dari setahun. Setelahnya, mereka akan dideportasi dan dilarang kembali ke Singapura.
Delapan lainnya masih menunggu keputusan pengadilan.
Meski belum tuntas, kasus pencucian uang terbesar di Singapura ini menimbulkan pertanyaan yang tak terhindarkan. Jaksa penuntut menyatakan uang yang digunakan untuk membiayai kehidupan mewah mereka di negara itu berasal dari sumber ilegal di luar negeri, seperti penipuan dan perjudian online.
Bagaimana orang-orang ini—beberapa di antaranya memiliki paspor dari Kamboja, Vanuatu, Siprus, dan Dominika—dapat tinggal dan melakukan aktivitas perbankan di Singapura selama bertahun-tahun tanpa pengawasan?
Insiden ini memicu peninjauan kembali kebijakan, dengan bank-bank dengan memperketat aturan, terutama bagi klien yang memiliki banyak paspor.
Tunjukkan uangnya
Singapura, yang seringkali disebut sebagai “Swiss-nya Asia”, mulai menarik perhatian bank dan pengelola kekayaan pada tahun 1990-an.
Reformasi ekonomi di China dan India mulai membuahkan hasil. Pada tahun 2000-an, Indonesia yang baru stabil pun mengalami pertumbuhan kekayaan.
Singapura dengan segera menjadi surga bagi bisnis asing berkat hukum yang ramah investor, pembebasan pajak, dan insentif lainnya.
Saat ini, para orang ultra-kaya dapat terbang ke terminal jet pribadi Singapura, hidup mewah di kawasan tepi pantai yang megah, dan berspekulasi di bursa perdagangan berlian pertama di dunia.
Tepat di luar bandara terdapat brankas keamanan maksimum bernama Le Freeport yang menyediakan penyimpanan bebas pajak untuk karya seni, permata, anggur, dan barang berharga lainnya.
Fasilitas senilai US$100 juta ini (Rp1,6 triliun) kerap dijuluki Fort Knox-nya Asia.
Menurut regulator pasar negara itu, manajer aset Singapura menarik US$435 miliar (Rp 5,160 triliun) dari luar negeri pada tahun 2022, hampir dua kali lipat angka pada tahun 2017.
Lebih dari separuh kantor keluarga Asia—perusahaan yang mengelola kekayaan pribadi—kini berada di Singapura, berdasarkan laporan konsultan raksasa KPMG dan konsultan kantor keluarga Agreus.
Mereka termasuk kantor keluarga pendiri Google Sergey Brin, miliarder Inggris James Dyson, dan Shu Ping warga negara China-Singapura, bos rantai restoran hotpot terbesar di dunia, Haidilao.
Pihak berwenang mengatakan beberapa terdakwa dalam kasus pencucian uang kemungkinan terkait dengan kantor keluarga yang diberi insentif pajak.
“Ada kontradiksi nyata untuk tempat seperti Singapura, yang membanggakan tata kelola yang bersih dan baik tetapi juga ingin mengakomodasi pengelolaan kekayaan besar-besaran dengan menawarkan keuntungan seperti pajak rendah dan kerahasiaan perbankan,” kata Chong Ja-Ian, seorang peneliti non-residen di Carnegie China.
“Risiko menjadi bankir untuk individu yang memperoleh uang mereka melalui cara jahat atau ilegal pun semakin besar.”
Bagi orang kaya China, Singapura menjadi pilihan utama karena reputasi pemerintahan dan stabilitasnya, sekaligus hubungan budayanya dengan China. Dan lebih banyak uang China mengalir ke Singapura dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu dari 10 tersangka dalam kasus ini diburu di China sejak 2017. Dia diduga berperan dalam perjudian online ilegal.
Jaksa penuntut mengeklaim bahwa dia menetap di Singapura karena “menginginkan tempat yang aman untuk bersembunyi dari otoritas China”.
Bersembunyi di depan mata
Ini bukan pertama kalinya bank-bank yang berbasis di Singapura terlibat dalam kejahatan keuangan.
Mereka ditemukan berperan dalam pencucian uang lintas batas dalam skandal 1MDB, di mana miliaran dolar disalahgunakan dari dana investasi negara Malaysia.
Dan Tan, yang pernah digambarkan Interpol sebagai “pemimpin sindikat pengaturan skor paling terkenal di dunia” juga memiliki hubungan bisnis yang kuat dengan Singapura. Dia ditangkap di sana pada tahun 2013.
Negara ini memiliki aturan ketat yang menargetkan kejahatan kerah putih dan merupakan anggota aktif Gugus Tugas Tindakan Keuangan (FATF), sebuah badan global yang menargetkan pencucian uang dan pendanaan untuk jaringan teror.
Selama bertahun-tahun, bank telah berinvestasi besar-besaran untuk memperkuat kepatuhan guna menyaring calon nasabah dan mendesak regulator untuk melaporkan transaksi mencurigakan. Tapi tidak ada yang sempurna.
Pertama-tama, sulit bagi regulator untuk menemukan kasus mencurigakan di lautan transaksi bernilai tinggi.
“Ini bukan hanya satu jarum dalam tumpukan jerami, tetapi satu jarum dalam beberapa tumpukan jerami,” ujar Menteri Dalam Negeri Kedua Singapura, Josephine Teo, kepada parlemen pada Oktober tahun lalu.
Beberapa ahli menyebut pasar properti Singapura yang sedang pesat adalah cara populer untuk “membersihkan” uang kotor. Begitu pula kasino, klub malam, dan toko barang mewah.
“Uang dalam jumlah besar mengalir melalui sistem perbankan Singapura setiap harinya. Penjahat dapat memanfaatkan fitur ini dan menyembunyikan kegiatan pencucian uang mereka di antara yang sah,” tutur profesor akuntansi Kelvin Law dari Universitas Teknologi Nanyang Singapura kepada BBC.
Singapura juga tidak membatasi jumlah uang tunai yang dapat dibawa masuk dan keluar negara, hanya memerlukan deklarasi jika jumlahnya melebihi USS$20.000 (Rp 237 juta).
Ini adalah keuntungan, tutur Christopher Leahy, pendiri firma riset investigasi dan penasihat risiko yang berbasis di Singapura, Blackpeak.
“Jika Anda ingin memindahkan banyak uang, sembunyikan di depan mata publik. Singapura adalah tempat yang tepat untuk itu.”
“Tidak ada gunanya menyimpannya di Kepulauan Cayman atau Kepulauan Virgin Inggris, di mana tidak ada tempat [untuk belanjakan uang],” katanya.
Ketika diminta tanggapan atas komentar analis bahwa keunggulan Singapura sebagai pusat keuangan juga menarik uang kotor, pihak berwenang mengarahkan BBC untuk mengutip pernyataan menteri hukum dan dalam negeri di surat kabar lokal tahun lalu.
“Kita tidak bisa menutup jendela, karena jika kita melakukan itu, maka dana yang sah juga tidak bisa masuk. Dan bisnis yang sah juga tidak bisa dilakukan, atau menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Jadi kita harus bijaksana,” ujar Menteri K Shanmugam.
“Ketika Anda sukses, Anda adalah pusat keuangan utama, banyak uang masuk, beberapa ‘lalat’ juga akan masuk,” tambahnya, mengacu pada kutipan yang sering diulang dari mendiang pemimpin China, Deng Xiaoping.
Singapura harus memutuskan sejauh mana mereka akan menerima “uang dengan berbagai nuansa abu-abu”, ujar Dr Chong dari Carnegie China.
Meski peningkatan regulasi bisa membantu sebagai solusi, dia menambahkan transparansi menimbulkan tantangan yang lebih besar: “Transparansi bertentangan dengan model kebijaksanaan yang memungkinkan banyak pusat pengelolaan kekayaan untuk berkembang.”
Beberapa analis mengatakan ini mungkin menjadi harga yang bersedia dibayar Singapura untuk mempertahankan posisinya sebagai pusat keuangan.
“Sebagian besar dana itu sah,” kata Leahy. “Tapi ada biaya yang tak terhindarkan untuk menjadi pusat keuangan utama.”
(dha/bbc)