BEBERAPA bulan ke belakang, ada lagu yang lumayan terngiang di kepala saya. Lagu mengenai seseorang yang telah terbiasa untuk selalu terlihat baik-baik saja. Runtuh, yang dinyanyikan oleh Fiersa Besari dan Feby Putri, seolah memberikan pembenaran mengenai hal yang setahun terakhir ini sangat saya pegang teguh, perihal kewajaran bagi seorang manusia untuk bersedih.
Dalam lagu yang dilantunkan mereka, seolah tersirat makna bahwa kejujuran dalam merasakan kesedihan tidak selalu wajar dilakukan. Terkadang kita pun tidak sadar bahwa kita seringkali meremehkan kesedihan ataupun permasalahan yang dialami baik orang lain atau diri kita sendiri.
Beberapa waktu sebelum tulisan ini saya tulis pun sempat terlontar dari seorang kerabat yang tengah dirundung suatu permasalahan, “Sedih karena hal bodoh,” katanya, dan seolah menyalahkan dirinya sendiri tentang kesedihan yang dialami.
Bagi saya, hal yang membuat perasaan atau hati kita terayun bukanlah sesuatu yang pantas dikatakan hal bodoh. Tidak ada hal bodoh yang terjadi di dunia ini, mengingat tidak ada satupun kejadian yang luput dari kendali Tuhan. Lalu kenapa kita merasa tertampar oleh hal yang menurut kita remeh? Seolah kita tidak pernah belajar dalam berkehidupan?
Banyak hal yang tidak kita ketahui, atau at least belum kita ketahui, termasuk alasan dari permasalahan yang tengah kita hadapi. Kita hanya bisa menerka-nerka perihal pembelajaran apa yang bisa diambil ketika hati kita tengah terayun. Dan dari semua terkaan yang bisa kita lakukan, yang terbaik untuk dilakukan adalah berpikir positif terhadap makna dari kejadian yang membuat kita terengah. Seperti halnya sekolah, ketika kita tengah belajar, kita tidak tau sejauh apa ilmu yang kita pelajari jika tidak ada ujian yang dihadapi. Permasalahan-permasalahan itulah ujiannya.
Akhir tahun 2021, ketika saya sedang mengikuti kegiatan di luar kota, ada sedikit pembelajaran yang dapat saya ambil mengenai berhadapan dengan ke-tidak baik-baik saja-an.
Singkat cerita, ada seorang bayi laki-laki yang tengah menangis. Ibunya datang, sembari menggendongnya, dia lantunkan beberapa kalimat. “Iya, tidak apa-apa, diterusin dulu ya nangisnya, tidak apa,” lantunnya lembut.
Sebuah kalimat yang sangat jarang saya dengar dan cukup menggoncang diri. Ketika hampir seluruh ibu yang saya temui seolah bersikap bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis sejak anaknya masih balita, sosok ibu ini seolah mengatakan bahwa tidak apa untuk menangis bahkan jika kamu adalah laki-laki.
Dari semua pemikiran-pemikiran tersebut yang mengitari otak saya seolah menyimpulkan bahwa kita tidak pernah tau seberapa kuat seseorang, kita tidak pernah tau masalah kecil yang kita hadapi bisa jadi akan membuat orang lain sangat rapuh jika ditimpakan ke mereka. Kita tidak pernah tau.
Jadi, baik untuk diri sendiri atau orang lain, tidak apa untuk bersedih atau bahkan menangis, siapapun kamu. Dan seseram apapun penampilanmu, menangis tetaplah hal yang wajar selama kamu masih manusia.
Akhir dari tulisan ini, akan saya tutup dengan kutipan dari lagu Fiersa Besari juga yang berjudul “Pelukku untuk pelikmu”.
Kadang kala tak mengapa
Untuk tak baik baik saja
Kita hanyalah manusia
Wajar jika tak sempurna
Sekian, jika kamu yang tengah membaca ini tengah mengalami hal seberat atau seringan apapun bagimu, tetaplah kuat. Dan menangis bukan berarti menjadi lemah, maka menangislah jika semua itu bisa teredam dengan air mata.
(*)
Seperti ditulis Firza di laman Medium Indonesia
Photo by Anthony Tran on Unsplash