DIREKTUR Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai perusahaan penyedia layanan teknologi seperti internet provider dan layanan aplikasi sebaiknya terus melakukan perbaikan dalam keamanan siber.
Dia menyebutkan, berdasarkan ranking National Cyber Security Index (NCSI), posisi Indonesia ada diperingkat 83 dari 160 negara.
“Artinya, kualitas keamanan siber masih perlu perbaikan signifikan,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (14/5).
Menurut dia, konsumen memang pada awalnya sensitif terhadap harga ketika pertama kali mengenal koneksi internet. Konsumen cenderung mudah gonta-ganti provider karena perbedaan harga.
“Namun, makin tinggi pemahaman konsumen khususnya soal privasi data pribadi dan risiko hacking atau kebocoran data, maka, preferensi akan berubah mencari kualitas layanan,” paparnya.
Karena itu, lanjut dia, di sini peran penting pemerintah juga selain dari tekanan konsumen untuk memastikan layanan berkualitas.
Contohnya, jika ada kebocoran data pribadi atau pembajakan aplikasi, maka, yang diminta pertanggungjawaban adalah pihak penyelenggara layanan.
“Bukankah ada kasus jutaan data bocor, kemudian menguap begitu saja. Ini harus menjadi pelajaran penting,” tuturnya.
Selain keamanan data siber, kualitas kecepatan internet di Indonesia dinilainya juga masih rendah.
Laporan Speedtest Global Index (layanan uji koneksi internet di seluruh dunia) pada September 2021 memperlihatkan posisi Indonesia yang berada di urutan ke-108 dari 138 negara.
Kecepatan internet mobile Indonesia ini belum lebih baik dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara. Indonesia masih tertinggal dibanding Singapura 105,01 Mbps (peringkat 17), Brunei Darussalam 67,32 Mbps (peringkat 36), Thailand 56,90 Mbps (peringkat 49), Vietnam 43,32 Mbps (peringkat 59), Filipina 35,03 Mbps (peringkat 72), Malaysia 31,34 Mbps (peringkat 82), Laos 30,93 Mbps (peringkat 84), dan Kamboja 23,75 Mbps (peringkat 105). Dengan Laos dan Kamboja pun Indonesia masih tertinggal.
Bukan hanya itu, kecepatan internet fixed broadband Indonesia di kancah dunia justru lebih buruk lagi ketimbang koneksi internet mobile. Indonesia turun dua peringkat ke posisi 116 dari 181 negara dengan kecepatan internet fixed broadband download rata-rata 27,83 Mbps. Ini beda tipis dengan Komboja di atasnya dengan kecepatan internet 28,32 Mbps (115).
Indonesia masih tertinggal dari Singapura 255,83 Mbps (ranking 2), Thailand 225,17 Mbps (peringkat 7), Malaysia 107,55 Mbps (peringkat 46), Vietnam 78,34 Mbps (peringkat 59), Filipina 71,85 Mbps (peringkat 64), Laos 48,16 Mbps (peringkat 88), Brunei Darussalam 34,59 Mbps (peringkat 107), dan Kamboja 28,32 Mbps (peringkat 115).
Head of Research Praus Capital Alfred Nainggolan mengingatkan ancaman keamanan data di era booming teknologi digital saat ini.
“Saat ini hampir semua industri menggunakan teknologi digital sebagai backbone inovasi, mulai dari e-commerce, smart factory, smart city, smart farming, smart health, smart banking/digital banking,” ujarnya.
Kendati demikian, booming itu perlu diawasi karena adanya ancaman keamanan data. Sebab, makin besar penggunaan teknologi digital oleh masyarakat, maka, kerentanan terhadap keamanan data.
Alfred menilai industri telekomunikasi harus diperkuat dengan realitas bahwa service of quality.
Dia mengingatkan sudah waktunya negeri ini mentransformasi mindset bahwa kualitas, kecepatan, dan keamanan data di sektor teknologi digital menjadi keniscayaan.
Menurutnya, jangan selalu ‘membodohi’ masyarakat dengan iklan murah, tetapi service kedodoran. Keamanan data menjadi suatu keharusan.
“Jangan sampai terabaikan hanya gara-gara ingin harga murah,” pungkasnya.
(*)
Sumber : JPNN