MENTARI baru saja merangkak bangun. Pekik suara ayam terdengar lantang. Nek Cu sudah bergegas melangkahkan kakinya menuju sumur yang tak jauh dari rumahnya untuk mandi.
Oleh : Rifki Setiawan
USIANYA yang sudah menginjak seabad lebih lima tahun, tak menjadi kendala baginya untuk melakukan rutinitas harian.
Nek Cu merupakan nama panggilan warga di sekitar kampung Pasir Panjang, kelurahan Rempang Cate – pulau Rempang kepadanya. Nama aslinya Amlah. Ia penduduk asli Rempang yang lahir tahun 1918. Di kampung Pasir Panjang, ia tinggal sendirian. Dua orang anaknya tinggal di luar Batam.
Sambil memegang tongkat kayu, pagi itu, ia juga menenteng handuk dan ember berisi peralatan mandi. Tanpa ditemani siapapun di usia senjanya, Nek Cu alias Malah memang rutin mandi di waktu Subuh sedari muda.
Amlah yang Resah, Namun Bersedia Dipindah
Dalam kesehariannya, ia bisa menjemur rengkam yang dibawa tetangganya. Selain itu, rutinitas harian lain adalah memasak dan bersantai di rumah kecilnya yang berada di pinggir pantai.
Wanita itu terbiasa menikmati hari-harinya dengan duduk santai sambil menikmati semilir angin sepoi-sepoi khas Pulau Rempang di rumahnya yang sederhana.

Mendengar kabar mengejutkan bahwa ia akan direlokasi ke Batam, imbas dari investasi pabrik kaca senilai Rp 175 triliun di pulau kampung halamannya, hatinya jadi nestapa. Tak banyak yang bisa ia ungkapkan. Usianya sudah menginjak 105 tahun, intonasi kata-katanya juga tidak terlalu jelas lagi, walau masih bisa dipahami.
Namun dari sorot matanya, tersingkap kesedihan yang mendalam. Membayangkan bahwa ia akan meninggalkan kampung halamannya di usia yang sudah sangat senja. Itu bukan mimpi yang pernah ia harapkan dalam jejak sisa kehidupannya.
“Baru tahu dan dengar setelah orang-orang (warga Pulau Rempang, pen) demo,” ungkapnya saat ditemui GoWest.ID (jejaring BatamBuzz) di rumahnya, Kamis (14/9/2023) lalu.
Ia bahkan tidak tahu, kemana akan dipindahkan. Sejauh pengetahuannya, rumah ganti rugi yang dijanjikan pemerintah juga belum jadi. Lokasinya juga masih hutan. Padahal, warga seperti dirinya sudah diminta mengosongkan pulau tempat tinggalnya ini paling lambat pada 28 September 2023 mendatang.
Informasi yang diperoleh Nek Cu pun hanya sebatas selebaran yang dibagikan Badan Pengusahaan (BP) Batam. Ia tidak bisa membaca lagi, hanya bisa mendengar penjelasan selebaran itu dari tetangganya.
“Yang penting dibayar. Anak-anakku dilihat betul-betul. Bikinkan rumah, boleh pindah,” kata dia dengan intonasi yang agak samar.
Nek Cu termasuk warga yang tidak menolak untuk dipindahkan, asal rumah yang dijanjikan sudah bisa langsung ditempati dan menjadi hak miliknya. Namun sekarang, tidak ada yang bisa menjanjikan harapannya itu. Nek Cu enggan bila harus ditumpangkan terlebih dahulu.
Ia mengaku sedih jika harus meninggalkan tanah kelahirannya. Sebelumnya, ia tak pernah keluar dan tinggal untuk waktu yang lama selain di Pasir Panjang.
“Sedih lah, sejatinya kita lahir di sini, ingin rasanya mati di sini, tapi kalau tak bisa apa boleh buat,” katanya lirih.
Hal yang paling penting saat ini bagi Nek Cu, yakni anak, cucu dan cicitnya mendapatkan sesuai yang dijanjikan.
Tak Ada Diskusi, Pemberitahuan Mendadak
Selain Nek Cu, banyak warga Pulau Rempang yang kecewa dengan pemerintah. Menurut mereka, tidak ada diskusi terlebih dahulu soal relokasi. Yang ada hanya pemberitahuan, itupun baru dilakukan memasuki bulan September 2023 ini, bulan dimana warga pulau seluas 17 ribu hektar harus segera direlokasi ke Batam. Batas waktu terakhir pengosongan pada 28 September 2023.
Bukan hanya kecewa dengan keputusan sepihak tersebut, kekecewaan terbesar yakni dipaksa meninggalkan tanah kelahiran dan tempat mereka mencari kehidupan.
Warga Pasir Panjang lainnya, Aminah, juga mengaku sedih dan heran atas pemberitahuan mendadak dari pemerintah itu. Sehari-hari, ia berjualan makanan di warung makannya. Sejak peristiwa bentrokan antara warga dan aparat, 7 September 2023 lalu, warung dagangannya sepi.
“Biasanya ramai disini. Tapi sejak bentrok kemarin jadi sepi,” ungkapnya.
Ia masih tidak percaya bahwa pemerintah mau menggusur warga dari kampung halaman mereka sendiri.
“Saya mohon Pak Presiden, dengarkan suara hati kami. Kami mendukung pembangunan, tapi jangan gusur kampung kami,” jelasnya.
Baginya, Rempang memiliki sejarah panjang dan budaya yang melekat kuat. Sulit rasanya membayangkan hidup jauh dari ketenangan di kampung halamannya di pulau Rempang.
Kabarnya ada sekitar 10 KK di Pasir Panjang yang setuju untuk direlokasi. Batas waktu pendaftaran relokasi yakni 20 September 2023, sementara pengosongan kampung pada 28 September 2023.

Kampung Pasir Panjang merupakan salah satu kampung tua yang akan digusur pertama kali bersama 3 kampung lainnya di pulau Rempang. Rencananya di lokasi kampung Pasir Panjang saat ini, akan dibangun pabrik kaca milik Xinyi Group dengan investasi yang dijanjikan sebesar Rp 175 triliun.
Rencana tersebut merupakan awal mula mengapa bentrokan besar terjadi di Jembatan IV Barelang pada 7 September 2023 lalu. Kericuhan tersebut membuat 8 warga ditangkap polisi, karena diduga menjadi provokator.
Lokasi Bakal Tower PT. MEG, Kampung Tua Blongkeng
Kepiluan dirasakan Anto dan keluarganya, yang tinggal di Kampung Tua Blongkeng. Anak mereka yang merupakan seorang guru di SD 016 Rempang, ikut ditangkap polisi saat bentrok di Jembatan IV Barelang beberapa hari kemarin.
Saat ini, mereka sulit percaya dengan siapapun. Bahkan tim GoWest.ID yang ingin mewawancarainya, juga diperiksa oleh warga. Mereka khawatir yang menemui adalah aparat pemerintah yang akan memasang patok dan menandai dibangunnya pabrik di sini, nantinya.
Informasi yang diterima tim GoWest.ID, warga di kampung tua ini, juga termasuk yang pertama kali akan direlokasi. Kampung Blongkeng direncanakan menjadi lokasi tower PT. Makmur Elok Graha (PT. MEG).
Warga kampung Blongkeng mengaku terkejut dengan kabar relokasi mereka. Begitu cepatnya, mereka mengaku belum pernah menerima kabar sosialisasi atau undangan untuk berdiskusi terlebih dahulu.

“Kami menyetujui pembangunan, tapi dengan syarat, kampung tua kami jangan diganggu gugat. Kan sudah ada patoknya ini kampung tua. Jadi kami hanya terima investasi di luar kampung tua,” ujar Anto, warga kampung Blongkeng kepada GoWest.ID.
Ia mengaku sudah beberapa kali didatangi orang-orang dari pemerintahan dan aparat. Ketika para petugas datang, Anto juga selalu menanyakan kapan anaknya bisa dilepaskan.
“Demi Allah kami suka kampung ini maju. Tapi tolong, kami ini nelayan. Jadi jangan dibuat susah lagi,” tuturnya resah.
Sejatinya, warga di Pulau Rempang adalah warga yang hidupnya damai. Meski di sejumlah kampung, listrik belum mengalir 24 jam, mereka cukup puas dengan kehidupan mereka saat ini.
Ketika nelayan mendapat ikan cukup banyak dari hasil melaut, mereka menjual sebagian hasilnya ke Batam. Lalu sisanya mereka bakar bersama untuk dimakan.
Warga di sana juga terbiasa berkumpul di balai-balai kecil di halaman rumah orang yang dituakan. Terkadang, ada posisinya di dekat pantai, sehingga membuat suasana terasa tenang dan asri.
Mereka terbiasa bercengkerama sambil menikmati ikan goreng atau ikan bakar, lalu menenggak air kelapa muda.
Kehidupan Warga Rempang laksana sisi mata uang yang berbeda dari kehidupan kota Warga di Batam. Meski belum tersentuh pembangunan yang cukup memadai, hanya rasa bersyukur yang bisa membuat mereka tetap membumi.
Pembangunan Jalan Baru Babat Kebun Warga
Badan Pengusahaan (BP) Batam menetapkan relokasi permanen Warga Rempang berada di Dapur 3, Sijantung, Pulau Galang, Batam, Kepri. Untuk menuju ke lokasi, BP Batam akan membangun jalan baru dari arah Camp Vietnam menuju Dapur 3.
Imbas pembukaan jalan tersebut, lahan milik seorang warga ikut dibabat. Petugas telah memasang patok kayu berwarna merah di kebunnya, tanpa pernah berkoordinasi.

“Iya kena pembukaan jalan. Jumlah yang terkena sekitar 1 hektar,” ujar si pemilik lahan, pria bernama Anjur.
Kabarnya Anjur akan mendapatkan ganti rugi dari tanaman yang akan dibabat demi pembangunan jalan tersebut. Namun ia belum mengetahui secara pasti berapa jumlahnya.
Sementara itu, Kepala Biro Humas dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait membenarkan bahwa pihaknya tengah melakukan pekerjaan pembukaan jalan.
“Iya akses jalan untuk hunian tetap,” kata Tuty.
Hanya saja, hunian tetap yang dinamai Nelayan Maritime City tersebut, belum ada wujudnya sama sekali, masih hutan. Bahkan jalan menuju ke lokasi, masih belum bisa dilewati kendaraan roda empat.
“Tunggu buka akses jalan dulu,” katanya lagi.
Hunian Sementara untuk Warga Rempang
BP Batam memastikan hunian sementara rumah tapak dan rusun untuk warga Rempang sudah bisa ditempati dan layak huni.
Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait mengatakan, sebanyak 63 unit rumah tapak berada di Bida Asri 3 Sambau dengan tipe 45 meter persegi. Rumah tersebut sudah dilengkapi jaringan air bersih, listrik, sanitasi, taman dan prasarana dasar pendukung lainnya.

Setiap rumah di Bida Asri 3 Sambau, terdapat dua kamar tidur berukuran 3×3 meter, kamar mandi ukuran 1,5×1,5 meter, ruang keluarga ukuran 7×3 meter dan full keramik.
“Setiap rumah juga ada halaman depan dan belakang,” tambah Tuty.
Selain itu, akses menuju rumah, dinilainya sangat baik. Warga yang menempati di perumahan tersebut juga sudah banyak.
Tidak hanya di Bida Asri 3 Sambau, sebanyak 43 unit siap huni lainnya juga disiapkan untuk masyarakat di lokasi lain.
Sementara itu, bagi hunian sementara rusun, pemerintah menyiapkan Rusun BP Batam, Rusun Pemko Batam dan Rusun Jamsostek.
Ia menjelaskan, bagi masyarakat yang menempati rusun nantinya, bisa memperoleh berbagai fasilitas lengkap. Salah satunya dengan tipe studio kamar.
Di dalam kamar, fasilitas disediakan di antaranya 2 tempat tidur, lemari pakaian, bantal, kasur, kamar mandi dalam, kipas angin, dapur, gorden, meja dan kursi.
Sedangkan di luar kamar, tersedia tempat ibadah, pengamanan 24 jam, sarana olah raga, tempat cuci tangan, area komersil (minimarket), dan tempat parkir.
Hingga saat ini, laporan dari tim di lapangan BP Batam, sebanyak 110 KK telah mendaftar dan siap dipindahkan. Secara akumulasi, ada 901 unit hunian sementara yang tengah disiapkan pemerintah baik rumah tapak, rusun maupun ruko.
(Leo/ham)