SAYA menjepret foto sepeda pancal itu di dekat Stasiun MRT Steven, awal bulan lalu. Stasiun yang kanan-kirinya banyak dihuni masyarakat elit Singapura. Juga bule-bule ekspatriat yang banyak dikontrakkan di sana oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Saya membayangkan, pemilik sepeda itu bule, ibu-ibu muda pastinya, atau perempuan kemanten anyar yang baru saja pindah ke Singapura ikut dinas suaminya. Itu bayangan saya ya!
Oleh : Sultan Yohana
ATAU perempuan Jepang yang langsing, murah senyum, rambut sebahu, dan selalu berpenampilan sopan.
Kenapa perempuan bule (atau Jepang)? Karena itu sepeda transportasi sehari-hari. Warna, merek, dan model sepeda yang dipilih “bule banget”. Simple, warna tidak menyolok, namun berkualitas. Saya lihat di situs merek sepedanya, harga itu sepeda cukup mahal, 1500an dolar Singapura. Ditambah keranjang rotan di belakang, pemiliknya pasti bule bertubuh langsing karena gaya hidup vegetarian, sedikit nyeni, suka pergi ke teater dan baca buku, serta kadang-kadang menghisap ganja (di negeri asalnya). Duh, perempuan idaman saya ketika mahasiswa. Hehe.
Untuk urusan sepeda, perempuan bule (juga lelakinya sebetulnya) dan Jepang di Singapura, mau tak mau, memang berada pada level berbeda. Mereka memakai sepeda pancal untuk transportasi sehari-hari. Untuk mengantar anak sekolah atau les, untuk belanja, bekerja, ke mall, ke salon, dls. Jika Anda pergi ke Orchad Road arah Tanglin Mall, mall yang baru dibeli oleh Sukanto Tanoto seharga $868 juta dolar itu. Anda dengan mudah melihat bule-bule cantik dan muda bersepeda pancal dengan membawa belanjaan, atau nggembol balitanya di sadel belakang. Tanglin Mall adalah mall elit yang mengambil konsumen orang-orang elit yang tinggal di sekitar Orchad dan Bukit Timah, dua kawasan elit Singapura.
Perempuan asli Singapura tidak gemar memakai sepeda sebagai sarana transportasi. Kalaupun bersepeda, paling untuk gaya-gayaan, dan yang dipilih model-model Brompton dan sejenisnya. Mereka, lalu rame-rame mengayuh, dengan kostum bersepeda super ketat, yang pantatnya menyembul menyakiti mata para lelaki. Kalaupun untuk transportasi sehari-hari – dan ini biasnya kaum proletar Singapura – biasanya sepeda yang dipilih “mbuyak byuk” dan warnanya menyolok mata. Ibu-ibu Singapura yang bersepada itu, jika sepedanya mahal, tak akan berani memarkir sepeda mereka seenak udelnya. Jikapun terpaksa, rantai gemboknya pasti semeriah bazaar Ramadan di Geylang Serai.
Hehe.
Sepeda, memang belum menjadi transportasi utama masyarakat Singapura. Pemakainya masih sangat terbatas, meski sarana yang disediakan pemerintah, seperti parkir dan jalan khusus bersepeda, sungguh sangat nyaman. Kebanyakan orang Singapura masih “menganggap”, sepeda untuk transportasi kalangan bawah saja. Untuk orang-orang tua. Untuk anak-anak mereka bermain. Untuk berolahraga.
Walau dianggap negara maju, Singapura memanglah masih belum sepenuhnya bisa melepaskan diri dari kultur-kultur lama khas negara Dunia Ketiga seperti GENGSIAN, doyan pamer STATUS dan KEKAYAAN. Kultur-kultur khas Dunia Ketiga ini, memang tidak serta merta hilang setelah seseorang berpendidikan tinggi, kaya-raya, bahkan bergaul dengan orang-orang kelas “jetset”. Kultur-kultur khas warga Dunia Ketiga ini bisa diperangi hanya dengan banyak membaca buku sastra, nonton film berkualitas, nongkrong dengan siapa saja orang, serta mendengarkan ceramahnya Gus Baha.
Hehe.
Kisah sepeda pancal yang diparkir di Stasiun Steven, bisa panjang di tangan saya. Jangan marah ya, ini semua hanya khayalan belaka saya!
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id Rubrik : Catatan Netizen jadi platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi para netizen yang gemar menulis, tentang apa saja hal positif yang bisa dibagikan melalui wadah BatamBuzz. Kirim artikel/ konten/ esai anda secara mandiri lewat cara ini ya.