Saya membayangkan sedang duduk di kedai kopi ini, 102 tahun silam. Duduk nyante di kursi kayu di teras warung, di depan saya, di atas meja marmer persegi: terhidang secangkir kopi dan roti panggang rasa kaya. Dua butir telur setengah matang, telah tandas saya sikat, menyisakan mangkuknya yang masih diurapi sisa lendir-lendir putih telurnya.
KUDAPAN khas Singapura: kopi, dua biji telur setengah matang, dan roti panggang isi kaya-mentega. Yang hingga kini masih sama digemari, dimakan siang-malam, apa pun keadaan.
Jalan Killeney, 102 tahun silam, pasti tak sepadat sekarang. Seabad silam, jalan ini mungkin didominasi lalu-lalang tuan-tuan penjajah, atau buruh angkut China daratan. Ada becak, gerobak dorong, noni-noni bertopi lebar, juga abang bergigi rompal dari Bawean yang duduk di pojok jalan sambil mengisap tembakau kesayangan. Juga satu-dua mobil milik pejabat penjajah. Saya membayangkan semua itu, 102 tahun kemudian, saat ngopi di sana, Jumat (19/11).
Berada beberapa puluh meter dari Orchar Road, tepatnya Killeney Road. Kedai itu, yang luasnya tak lebih dari tiga meter, pasti selalu ramai oleh pelanggannya. Terlalu ramai mungkin, padat berdesakan di warung yang kecil itu.
Tapi, siapa menduga, warung itu, kini masih ada. Warung yang masih dibiarkan kecil, sederhana, apa adanya. Warung yang telah menghasilkan jaringan waralaba Killiney Kopitiam, yang menggurita seantero Singapura, bahkan Asia. Warung yang telah menjadikan pemiliknya, Woon Tek Seng, salah satu orang terkaya di Singapura.
Tentu saja saya harus berterimakasih pada pemilik kedai kopi, yang masih membiarkan kedai kopi seperti apa adanya, hingga saya bisa menghayalkan Singapura, 102 tahun silam.
Menghayal? Duh, kenapa satu hal simpel dan gratis ini, kini begitu sulit dan mahal sekali untuk dilakukan. Bahkan, banyak orang sampai harus pelesir ke mana-mana, hanya untuk menemukan masa silam. Yang SIALNYA, semuanya telah dirusak dengan istilah: pengembangan pariwisata!
(*)
Seperti ditulis Sulton Yohana di akun jejaring sosialnya.