PULAU Pecong, dinamai dari pohon yang disebut masyarakat setempat sebagai pohon pucung. Pohon yang sangat tidak diinginkan karena mulai dari daun, buah hingga batangnya, disebut memiliki rasa yang pahit, bahkan memabukkan. Dahulunya, pohon itu banyak ditemui di sekitar pulau ini.
Oleh : Bintoro Suryo
DI beberapa daerah lain, pohon Pucung yang memiliki nama binomial : pangium edule, sebenarnya dimanfaatkan sebagai bumbu masak. Kelompok masyarakat lain ada yang menyebutnya sebagai pohon kepayang atau kluwek jika di daerah Jawa.
Bijinya bisa dipakai sebagai bumbu dapur masakan yang memberi warna coklat kehitaman. Misalnya pada masakan rawon atau brongkos di Jawa serta sup konro di Sulawesi.
“Ya, itu cerita orang-orang tua sejak dulu tentang nama pulau ni. Diambil dari nama pokok (pohon, pen) yang memiliki buah yang pahit”, kata pak Bakar saat Sania menanyakan asal mula nama pulau yang dianggapnya aneh. Berkali-kali Sania gagal melafazkan nama: Pecong secara benar. “Pecong” yang dikenal warga, biasa dilafazkan dengan menggunakan ‘e lemah’, seperti mengucapkan kata : ‘berdikari’, misalnya. Tapi Sania mengucapkan dengan lafaz menggunakan ‘e’ biasa.
“Pecong tu dari Pucung. Karena pengucapan masyarakat setempat, pokok Pucung tu diucapkan jadi Pecong. Dulu, pohon Pucung, banyak dijumpai di sekitar pulau ni. Mulai dari daun, batang,buah hingga bijinya pahit. Orang sini tak suka pokok tu”, kata pak Bakar.
Dari literasi ilmiah yang saya peroleh, Pohon Pucung yang disebut pak Bakar itu di kalangan masyarakat Melayu juga dikenal dengan nama pohon kepayang. Secara ilmiah, tanaman itu mengandung komponen glikosida sianogenik, yang dapat dengan cepat terhidrolisis menjadi gula, aldehida serta asam sianida. Glikosida sianogenik-nya dapat ditemukan pada daun, kulit batang, serta biji tanaman. Itu yang disebut pahit dan beracun oleh pak Bakar dan warga di pulau ini.
Literasi lain menyebut, pada zaman dulu, racun pada biji kepayang atau Pucung, dapat digunakan sebagai racun mata panah. Jika buahnya dimakan secara langsung, dapat menyebabkan orang yang mengkonsumsinya mabuk.
Oleh karena itu, muncul ungkapan “mabuk kepayang” dalam bahasa Melayu yang kemudian diadopsi ke bahasa Indonesia untuk menggambarkan keadaan seseorang yang sedang jatuh cinta, sehingga tidak mampu berpikir secara logis. Seakan-akan habis memakan buah kepayang.
Namun, biji pohon tersebut sebenarnya aman untuk diolah bila telah direbus dan direndam. Untuk memunculkan warna hitam pada masakan, misalnya.
“Ada satu yang tersisa dekat lapangan bola tu, sebenarnya. Tapi sekarang dah ditebang karena dianggap tak bermanfaat”, ujar pak Bakar.
(*)
Bersambung
Selanjutnya : Komplek Sekolah dari Lahan Hibah Warga – Pecong; Pucung Penanda Pulau (4)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com