DI Pulau Karas Kecil, seorang pria bernama Busri, yang lebih akrab dipanggil Bujang, tengah melakukan tugas mulia: menyelamatkan penyu sisik yang terperangkap dalam jaring nelayan.
Jumat (23/11/2014) pagi, ia dengan hati-hati mengeluarkan parasit dari cangkang dan kulit penyu, melawan ancaman yang dapat mengganggu kelangsungan hidup makhluk yang terancam punah ini.
“Parasit ini seperti hama, jadi sebelum penyu kita lepas kembali ke laut, kita obati dulu,” jelas Bujang, yang telah mengabdikan hidupnya untuk melindungi penyu sejak tahun 2016.
Setelah perawatan, penyu tersebut dilepaskan dengan menghadap ke pulau, mengikuti nasihat seorang wisatawan asing yang pernah ia temui.
“Dengan cara ini, penyu akan ingat jalan pulang dan mungkin kembali ke tempat ini di masa depan,” tambahnya.
Penyu yang memiliki nama ilmiah Eretmochelys imbricata itu perlahan-lahan berenang menuju laut, meninggalkan jejak di pasir pantai yang seolah menjadi simbol harapan baru. Dalam sekejap, penyu tersebut menghilang ke dalam air, dan Bujang merasakan kepuasan tersendiri setiap kali berhasil menyelamatkan penyu.
“Ada kebahagiaan tersendiri bagi saya,” ungkap pria berusia 45 tahun itu.
Pulau Karas Kecil, yang terletak di antara Batam dan Bintan, merupakan habitat alami bagi penyu. Dulu, masyarakat setempat sering menangkap penyu dan bahkan mengonsumsinya. Namun, kesadaran akan pentingnya melindungi penyu kini semakin meningkat.
“Sekarang, jika ada penyu atau telurnya ditemukan, masyarakat langsung menyerahkannya kepada saya untuk dilepasliarkan,” kata Bujang, ia bangga akan perubahaan sikap masyarakat.
Di sekitar lokasi pelepasan, terdapat beberapa sarang penyu yang dilindungi oleh papan dan kawat untuk mencegah predator seperti biawak dan berang-berang.
“Sarang ini tersebar di berbagai titik, tidak hanya di pesisir pantai, tetapi juga di dekat pondok tempat saya beristirahat. Setiap sarang biasanya memiliki lubang tipuan yang dibuat penyu untuk mengelabui predator,” jelasnya.
Bulan Oktober adalah bulan terakhir bagi penyu untuk bertelur di Pulau Karas Kecil. Dalam satu kali bertelur, satu induk penyu bisa menghasilkan hingga 150 butir telur. Setelah bertelur, induk penyu kembali ke laut, dan tugas Bujang adalah menjaga agar telur-telur tersebut aman hingga menetas.
“Jika tidak dijaga, telur-telur itu bisa dimakan oleh predator,” tambahnya.
Bujang mengandalkan tanda-tanda alam untuk mengetahui kapan penyu bertelur. Tanda tersebut adalah kilatan cahaya besar yang terlihat di malam hari. “Itu adalah sinyal pasti bahwa penyu sedang bertelur.
“Saya langsung bergegas ke sini dari Pulau Karas Besar,” katanya.
Dengan jarak sekitar lima menit perjalanan menggunakan kapal, Bujang tidak pernah terlambat dalam mengamankan telur-telur penyu.
Setelah memasang pengaman untuk telur, Bujang harus bersabar menunggu 50 hari hingga telur-telur tersebut menetas. Selama periode tersebut, ia terus memantau dan merawat ratusan telur, dengan harapan jumlah penyu yang menetas akan memuaskan.
“Dari sekitar 120 telur, biasanya 100 dapat menetas dengan baik. Terkadang, lebih banyak lagi,” ujarnya.
Namun, di tahun 2024 ini, Bujang mencatat hanya ada enam sarang yang berhasil ditemukan, lebih sedikit dibandingkan tahun sebelumnya yang bisa mencapai 9-12 sarang. Ia mencatat semua data dengan rinci, meski tanpa alat bantu yang memadai.
“Jumlah telur bervariasi tergantung ukuran induknya. Jika induknya besar, biasanya bisa menghasilkan 150 telur, tetapi tahun ini jumlahnya menurun menjadi 120 setiap sarang,” jelas Bujang.
Bujang tidak mengetahui penyebab penurunan ini, tetapi ia berharap agar ada alat untuk mempermudah pengawasan.
“Menghitung telur juga kami lakukan sendiri. Dengan alat, penyelamatan bisa lebih efektif,” katanya.
Selain itu, ia juga menerima kiriman telur penyu dari pulau lain, yang dikenal dalam pencatatannya sebagai “penyu dengan proses pindahan”.
Dalam upayanya, Bujang sering menggunakan uang pribadinya untuk memberi imbalan kepada warga yang berhasil menyelamatkan telur penyu.
“Saya kadang harus membayar mereka untuk biaya transportasi. Meskipun kadang ada dermawan yang membantu,” katanya.
Walaupun berharap dukungan dari pemerintah, Bujang merasa bahwa semua ini adalah tanggung jawab pribadi.
“Pemerintah pernah berjanji akan membantu, tetapi sampai sekarang hanya tinggal janji,” keluhnya.
Ia berharap pemerintah dan instansi terkait lebih aktif dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi penyu.
“Kalau ada penyu yang diselamatkan di pulau lain, saya sering yang menjemputnya. Penyu ini wajib diselamatkan, tetapi jangan lupakan juga saya,” tambahnya dengan nada bercanda.
Bagi Bujang, melepaskan penyu kembali ke alam liar adalah sebuah kehormatan.
“Jika bukan kita, siapa lagi?” tuturnya, mengungkapkan semangat dan dedikasinya dalam melindungi penyu yang semakin terancam punah.
Dengan tekad yang kuat, Bujang terus berjuang demi masa depan penyu di Pulau Karas Kecil.
(sus/mongabay)