“Awas, anjing tu galak. Biar ibu yang duluan jalan”, kata Rohana yang memimpin rombongan kecil kami menyusuri pulau itu agak lebih ke dalam.
Oleh : Bintoro Suryo
IA memberi isyarat pada anjingnya untuk menjauh dan tidak mengganggu rombongan kecil kami.
Pulau Bayan atau Boyan ini ternyata berkontur agak terjal dari sisi pantainya. Dari rumah warga yang terhubung ke laut, tanah yang terhubung dari pelantar kayu ke kediaman mereka dibuatkan trap-trap seperti tangga untuk memudahkan mereka bila ingin lebih masuk ke darat.
Kami langsung menjumpai sebuah bangunan mushala kecil. Bangunan itulah yang terlihat jelas dari arah laut, dalam perjalanan kami ke sini.
“Itu mushala masih dipakai kan, bu?” tanya saya ke Rohana.
“Tidak, pak. Mushala tu terkunci. Kuncinya dibawa yang mengurus. Yang mengurus tu, tak tinggal di sini”, katanya.
Sayang sekali. Satu-satunya bangunan ibadah yang bisa ditemui di sini sudah tidak digunakan. Dari artikel yang coba kami telusuri tentang pulau ini di mesin pencari google, mushala kecil itu ternyata dibangun oleh kenalan saya, Imbalo Iman Sakti belasan tahun lalu. Ia sempat mencatat perjalanannya ke pulau ini beberapa tahun lalu.
Pak Imbalo, begitu saya menyapanya, dikenal suka berkeliling dari satu pulau ke pulau lain di wilayah pesisir perairan Kepulauan Riau ini.
Dari catatannya, ia menyebut, di pulau ini pernah ada pangkalan minyak untuk kebutuhan kapal dan nelayan serta masyarakat pulau sekitarnya. Tapi kemudian berhenti beroperasi. Ia mendirikan sebuah surau kecil bantuan dari Asia Muslim Charity Foundation di sini. Surau atau mushala itu lah yang kami temui.
Wanita yang merupakan bungsu di antara saudara-saudaranya itu, kemudian membawa kami lebih ke tengah pulau. Pohon-pohon hutannya masih rapat. Kami mengikuti jalan setapak yang membawa kami makin ke dalam hutan. Ada beberapa pohon tumbang yang menghalangi perjalanan.
“Di bagian dalam tu, ada makam orangtua ibu”, jelasnya sambil berjalan, memimpin rombongan kecil kami.
“Jarang yang mau masuk sampai ke dalam seperti ni, katanya takut disesatkan orang bunian. Tapi ibu dah terbiasa, tak ada apa-apa”, lanjutnya.
Cerita orang seperti yang didengarnya, orang bunian yang dimaksud adalah sejenis makhluk halus penunggu hutan di pulau kecil ini. Beberapa warga menurutnya, pernah tersesat saat menyusuri hutan di pulau Bayan. Rata-rata, awalnya karena melihat sesosok wanita cantik di dalam hutan. Mereka bisa tersesat hingga berhari-hari, sebelum akhirnya berhasil menjangkau pinggiran pulau dan diselamatkan oleh nelayan yang kebetulan sedang melintas.
“Katanya ada peninggalan orang Belanda di tengah pulau ini, ya Bu”, tanya saya padanya.
“Entahlah, pak. Ibu tak tahu. Membaca pun tak bisa. Tak tahu pula ada peninggalan orang Belanda di sini. Dari lahir ibu di sini, mungkin lah ada. Ada tulisan, tak bisa terbaca pula”, ujarnya lugu.
Setengah jam perjalanan, kami menemui sebuah tempat yang lumayan luas di tengah hutan lebat yang mengelilingi. Ada pusara-pusara tua. Rohana mendekati sepasang pusara di antaranya.
“Ini kuburan orang tua ibu. Kubur bapak sama mamak”, katanya sambil langsung berusaha membersihkan dedaunan yang mulai menutupi bagian atasnya.
“Ini kubur bapak, sebelahnya mamak. Ibu rawat terus. Makanya tak mau pergi dari pulau ni, biar saja sendiri di sini sampai mati”, katanya lirih.
Ia tercenung sejenak di depan makam orangtuanya. Tak ada lagi tempatnya mengadu, kini. Semua harus ditangani sendiri. Untuk bertahan hidup, ia harus mengupayakannya sendiri juga.
Keahliannya cuma menyuluh sotong (sejenis cumi-cumi, pen) dan menombak ikan di laut. Skill yang didapat dari orangtuanya yang merupakan suku laut. Untuk berinteraksi dengan warga di luar pulau Bayan, seperti ke pulau Buluh, ia kerap menggunakan sampan kolek peninggalan bapaknya.
“Kita terus ke ujung pulau di sana, bu?” tanya saya padanya. Rizka langsung menoleh ke saya. Seperti ketakutan jika perjalanan dilanjutkan.
“Jangan, pak. Sudah sore sekarang. Daerah ni keramat. Ibu tak takut, kalian orang luar, takut nanti ada apa-apa”, sergahnya melarang.
Saya setuju dan menghormati sarannya, kemudian meminta Domu menerbangkan drone. Saya ingin melihat lanjutan kondisi pulau ini hingga ke ujung sebelahnya dari udara.
(*)
Bersambung
Selanjutnya : “Sepi di Perlintasan yang Ramai” – Hidup Sunyi Wanita Tua Pulau Boyan (3-Habis)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com