DOMU sakit. Sudah tiga hari lebih meringkuk demam. Sekali waktu, kita memang perlu berdamai dengan tubuh, kan?
Oleh : Bintoro Suryo
“Istirahat aja, mu. Nanti ke Pecong, biar saya dan Sania”.
Perjalanan kali ini, adalah yang pertama tanpa dia. Saya ditemani gadis muda yang mungkin, seharusnya mengisi panggung-panggung model. Ada hiruk pikuk, glamour dan kilatan blitz kamera. Bukan ke tempat-tempat sepi dan jauh dari keramaian kota, seperti tujuan kali ini; pulau Pecong. Pulau kecil berhampiran pulau Bulan di sisi barat Batam.
“Oke, pak. Sania mau”, kata Sania bersemangat.
JARAK ke pulau Pecong ternyata tidak dekat dari Batam. Butuh waktu sekira satu jam perjalanan menggunakan perahu boat dari dermaga rakyat di pelabuhan Sekupang.
Jika kita tidak menggunakan perahu boat sewa, hanya ada satu kali transportasi laut yang melayani rute dari pelabuhan Sekupang ke pulau Pecong. Pagi dari pelabuhan Sekupang dan sore hari dari pelabuhan pulau Pecong.
Pulau itu berhampiran dengan pulau Bulan yang secara ukuran luas, seperti David dan Goliat. 🙂
Luas pulau itu hanya sekitar 16,368 km. Penduduk yang mendiami juga tidak banyak, hanya 902 jiwa saja. Secara administratif, pulau itu masuk dalam wilayah kecamatan Belakangpadang di kota Batam. Secara hubungan sosial, masyarakat di sini, umumnya yang mendiami wilayah Kepulauan, biasanya berkerabat satu dengan lainnya di pulau-pulau sekitar.
“Saya belum pernah ke pulau-pulau begini, pak. Itu Singapur ya”, kata Sania separuh berteriak di atas perahu boat yang membelah laut, menyisir pulau-,pulau kecil di sekitarnya. Deru mesin boat begitu keras terdengar.
“Ya, itu Singapur di sebelah sananya”, jawab saya juga separuh berteriak.
Boat pancung yang kami naiki, terus bergerak membelah laut. Kadang terhempas-hempas dengan keras saat berpapasan dengan kapal lain yang lebih besar. Dari peta yang saya buka di ponsel, kami baru melalui separuh perjalanan, masih ada sekitar 30 menitan lagi untuk sampai ke tujuan.
Pulau Pecong yang akan kami kunjungi bersama sekitar 108 pulau kecil lain, saat ini masuk dalam wilayah kecamatan Belakangpadang di kota Batam. Gugus pulau-pulau kecil tersebut, tergolong sebagai pulau – pulau terluar negara. Perairan yang melingkupinya juga sangat strategis karena terhubung ke selat Philip di hadapannya yang merupakan selat tersibuk di dunia.
Selat pemisah Indonesia dan Singapura itu menghubungkan antara dua ‘dunia’, barat dan timur jauh hingga ke daratan China dan kepulauan Jepang. Ini perairan yang terhubung juga ke selat Malaka, selat yang menjadi perebutan sejak zaman silam karena letaknya yang sangat strategis.
Pada masa lalu, para penghuni pulau-pulau kecil yang tersebar sepanjang perairan strategis ini adalah suku Melayu. Mereka biasa juga disebut sebagai orang Selat atau orang laut, mengingat kehidupan mereka yang bersentuhan dengan lautan.
Orang Laut telah menjadi nama salah satu suku bangsa di perairan Sumatera Timur (termasuk di wilayah Kepulauan Riau) dan Selat Malaka sejak dulu. Cirinya adalah cara hidup yang khas dan sangat tergantung kepada lautan di sekitarnya. Mereka bermukim di berbagai sungai yang bermuara ke laut, pulau, dan muara-muara sekitar perairan. Kelompok ini termasuk juga yang biasa disebut Orang Laut yang bertempat tinggal di perahu dan hidup mengembara di perairan – perairan sekitarnya.
Sebuah peta yang dibuat oleh Valentijn François pada tahun 1726 (dari arsip website Library of Congress, USA), sudah memperlihatkan gambaran tentang vitalnya perairan ini sejak dulu. Francois mendeskripsikan sebuah selat padat bernama Straat van Malakka yang melewati jalur perairan ini. Ada gambar peta pulau Temasek (Singapura, kini) dan juga Batam, namun belum diberi nama.
Di masa kini, letak yang strategis dari perairan ini bisa dilihat dari begitu digdayanya Singapura dalam kancah perekonomian dunia. Sebuah negeri pulau kecil yang diuntungkan dengan keberadaan selat Philip di hadapannya.
Namun, keberuntungan sepertinya baru memihak ke negara kecil itu, tapi belum ke pulau-pulau kecil di hadapannya. Sebuah kontradiksi nyata yang terlihat.
(*)
Bersambung
Selanjutnya : Rengkam, Tumpuan Nelayan Saat Cuaca Buruk – Pecong; Pucung Penanda Pulau (2)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com